Anak dengan autisme sering mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, termasuk memahami isyarat non-verbal, berbagi perhatian, dan bermain dengan anak lain. Terapi permainan menjadi salah satu pendekatan yang efektif dalam membantu anak mengembangkan keterampilan sosial secara alami.
Terapi permainan memanfaatkan kegiatan bermain sebagai sarana belajar dan komunikasi. Dalam lingkungan yang terstruktur dan menyenangkan, anak diajak untuk berinteraksi dengan terapis atau anak lain, sambil belajar aturan sosial, berbagi, bergiliran, dan mengekspresikan emosi dengan tepat.
Jenis permainan yang digunakan disesuaikan dengan minat dan tingkat perkembangan anak. Misalnya, permainan pura-pura (pretend play) digunakan untuk melatih imajinasi dan perspektif sosial, sedangkan permainan kelompok digunakan untuk meningkatkan kemampuan kerja sama.
Salah satu pendekatan yang umum digunakan adalah DIR/Floortime, yaitu teknik yang menekankan pada hubungan emosional antara anak dan terapis. Terapi ini mengajak anak terlibat dalam permainan spontan, sambil secara bertahap meningkatkan interaksi dan komunikasi sosial.
Permainan juga digunakan sebagai alat untuk mengajarkan keterampilan tertentu, seperti meminta tolong, menyapa, atau mengekspresikan keinginan. Dengan cara ini, anak belajar melalui pengalaman langsung, bukan hanya dari instruksi verbal.
Keberhasilan terapi permainan sangat bergantung pada keterlibatan konsisten orang tua. Mereka dapat melanjutkan praktik bermain sosial di rumah dan memperkuat keterampilan yang sudah dipelajari anak di sesi terapi.
Hasil dari terapi permainan bukan hanya peningkatan dalam keterampilan sosial, tetapi juga rasa percaya diri anak. Ketika anak merasa berhasil dan diterima dalam lingkungan sosial, motivasi mereka untuk berinteraksi pun meningkat.
Dengan strategi yang tepat, terapi permainan bisa menjadi jembatan penting untuk membantu anak autisme menghadapi tantangan sosial dalam kehidupan sehari-hari.